Apa yang lucu pada negeri ini? Tak ada yang lucu. Semua perangkat negara ada, mulai dari presiden, anggota DPR hingga rakyat jelata.
Dipermukaan, semuanya menjalankan tugasnya, membangun negeri ini untuk menyejahterakan rakyat. Semua memiliki hak yang sama untuk sekolah dan mendapatkan pekerjaan.
Namun, di mata Dedi Mizwar, negeri ini sangat lucu. Bagaimana mungkin di kota besar lulusan sarjana menganggur dan luntang- lantung mencari pekerjaan.
Bagaimana mungkin di saat pemerintah rajin mempropagandakan sekolah gratis dan bantuan operasional sekolah (BOS), terutama jelang kampanye, banyak anak tidak sekolah dan menjadi pencopet pula.
Satu lagi, bagaimana mungkin, rakyat kecil mencopet dikejar dan terhina sementara koruptor merajalela dan mendapat tempat terhormat dan diperlakukan istimewa.
Kondisi ironi inilah yang menjadi tema utama film mutakhir Dedi. Alangkah Lucunya Negeri Ini. Setting dibuka dengan kehidupan sehari-hari masyarakat bawah.
Adalah tokoh tua, diwakili tiga bapak, Dedi Mizwar (merangkap sutradara) yang menjadi tokoh utama dalam film ini, Muluk (Reza Rahadian) lalu Slamet Rahardjo dan Jaja Mihardja.
Ketiganya punya anak dan pengangguran semua meski sudah tamat S-1. Dedi yang berprofesi sebagai penjahit menolak anaknya disebut pengangguran.
“Sedang mencari kerja. Beda dengan pengangguran yang pasrah merenungi nasib,” katanya kepada calon besan Jaja yang dalam film ini memiliki gadis yang juga ditaksir calon anggota DPR.
Muluk sudah mencari kerja ke mana-mana tapi nasib tak berpihak padanya. Di sebuah pasar bertemu dengan copet kecil yang mengambil dompet melalui kerja sama dengan teman-temannya.
Dialog Muluk dengan copet kecil menjadi awal bahwa dialog dalam film ini menjanjikan percakapan cerdas. Penulis cerita, Musfar Yasin patut diacungkan jempol untuk itu. Termasuk, menggunakan kata “adalah” melalui Kifli, salah seorang ketua kelompok copet bus kota. Kata “adalah” pada setiap kalimat Kifli bisa menjadi daya tarik seperti “Apa kata dunia” dalam film Naga Bonar.
Muluk berkata bahwa dia sudah ke sana- kemari mencari kerja untuk mendapat uang, tetapi dengan gampang sang copet mengambil dompet orang. “Jika kamu minta pasti akan diberi,” kata Muluk.
“Saya copet, bang. Bukan minta-minta,” ujar Komet, sang copet kecil yang kemudian diperlihatkan sebagai ketua copet pasar.
Pertemuan itu dilanjutkan pada sebuah sudut warung di mana Komet menawarkan lauk opor, sementara Muluk hanya pesan tempe dan sayur kangkung. Singkat cerita, Muluk bertemu dengan pimpinan copet, Jarot (Tio Pakusadewo) yang mengkoordinasikan tiga kelompok copet, yakni copet pasar, copet di mal dan kelompok copet bus.
Muluk yang sarjana manajemen menawarkan proposal kerja sama kepada Jarot. Tawarannya, mengelola hasil copet anak-anak untuk dijadikan modal usaha. Dijanjikan, uang itu akan dikembangkan sehingga mereka suatu hari tidak perlu mencopet lagi.
Tidak hanya itu, Muluk ternyata berfikir jauh. Dia ingin anak-anak pencopet itu juga belajar pengetahuan umum, mengaji, mandi dan berdagang (menjadi pengasong). Dedi tidak ingin perubahan profesi itu mulus sehingga penonton menyaksikan happy ending. Dia ingin semuanya realistis. Tidak gampang mengubah profesi copet menjadi pengasong.
Dialog cerdas muncul ketika Samsul (Asrul Dahlan), sarjana pendidikan harus menjelaskan pentingnya pendidikan. Di sini peran Kifli (tokoh anak yang mengantar orang tua di mobil bak terbuka di tengah kemacetan, Naga Bonar 2) yang selalu menggunakan kata “adalah” pada setiap percakapannya.
Pendidikan adalah… Asrul menjelaskannya dengan bahasa “tinggi” yang tak dipahami. Akhirnya pendidikan dipahami sebagai kemampuan yang lebih tinggi. Jika, tak berpendidikan hanya menjadi copet dan tetap miskin, maka jika berpendidikan bisa jadi koruptor dan hidup nyaman.
Jadi, “Hidup koruptor!” Teriak belasan anak copet di rumah kosong dan sebagian runtuh yang menjadi markas mereka. Sindiran pada koruptor juga dimunculkan ketika anak dibawa ke pintu gerbang DPR. Musfar mendisain dengan manis. Anak-anak mengatakan apakah boleh mencopet di gedung DPR. Tentu tidak boleh.
Kalau korupsi, tanya anak-anak. Para pendamping menghentikan dialog dengan mengajak mereka naik ke truk dan meninggalkan pintu gerbang. DPR juga DPRD saat ini sedang berjuang agar label koruptor itu lepas dari jabatan mereka karena hingga saat ini pun tak sedikit anggotanya yang ditahan dan diperiksa terkait sejumlah kasus korupsi.
Nilai moralitas dan halal tidaknya suatu rezeki juga disuguhkan dalam film ini. Tiga tokoh tua (Dedi, Slamet dan Jaja) ingin melihat pekerjaan anak-anaknya. Sebelumnya, Muluk mengatakan kepada bapaknya, Makbul, bahwa dia bekerja di bidang pengembangan SDM.
Kenyataannya, ketiga tokoh tua menyaksikan anak-anak mereka digaji dari uang copetan, meskipun dibungkus dengan kata “pengembangan SDM”. Mereka tidak rela makan uang haram, uang dari mencopet.
Makbul menyisihkan gula dan teh dari Muluk. Termasuk, dana rekening listrik. “Mulai bulan depan, saya yang bayar,” kata Makbul. Dia tak ingin uang dari hasil mencopet mengalir di darah dan menjadi daging di tubuhnya.
Adegan dramatis dipertunjukkan ketika keduanya berdoa di musholla, minta maaf dan ampun pada Allah karena selama ini makan uang dari hasil mencopet. Muluk dan rekan perempuannya, anak Slamet, menjadi ragu dengan profesi yang mereka lakukan selama ini. Mereka ingin berhenti mendidik pencopet padahal mereka sudah menyiapkan enam kotak sebagai modal untuk mengasong (menjaja).
Adegan terbaik dalam film ini diperlihatkan Samsul yang ingin tetap mendidik anak-anak pencopet asal diberi ongkos, tanpa honor. Masalahnya, bukan sekadar honor atau uang haram, tetapi menyangkut harga diri. Jika tidak mengajar maka dia akan menjadi penganggur lagi dan bermain kartu di gardu siskamlimg.
Dengan gaya yang ekpresif, khas Asrul, Samsul berteriak bahwa bukan mereka yang salah memakan uang pencopet. Bukan mereka juga yang salah makanya ada pencopet. Mengapa makan uang pencopet menjadi hina, sementara koruptor menghabisi uang rakyat dibiarkan bahkan kadang dibela dan jadi mulia. Yang salah adalah mereka yang membiarkan rakyatnya mencopet, teriak Samsul disaksikan warga kampung lainnya.
Ini inti dari pesan Alangkah Lucunya Negeri ini. Parodi kehidupan pencopet di film dan mencuatnya kasus korupsi di mana-mana, dalam kehidupan nyata. (*an/ham)
Sumber : http://matanews.com/2010/05/03/alangkah-lucunya-negeri-ini/